Hosh…hosh…hosh…
Nafasku tersengal-sengal, jantungku berdetak tak keruan.
Peluhku jatuh bercucuran dan darah yang beberapa kali menetes dari tangan kanan
dan sudut bibir kiriku, perih. Aku yakin orang-orang akan menyangka aku seorang
tahanan yang mencoba melarikan diri dari penjara jika aku berada
ditengah-tengah kota sekarang. Dan jika aku benar ditengah-tengah kota
sekarang, aku akan dengan senang hati mampir sejenak ke minimarket untuk
membeli 1 liter air mineral,membeli plester dan betadine untuk mengobati luka
dibeberapa bagian tubuhku sebelum aku digiring masuk kembali ke penjara. Sayang,
aku sedang ditengah gurun panas yang sungguh saking panasnya membuat kulitku
serasa dibakar bak barisan ikan gurame yang digrill direstoran2 seafood dan aku
bukanlah seorang tahanan yang melarikan diri dari penjara. Dan lupakan soal
minimarket ditengah gurun atau keinginan untuk membeli 1 liter air mineral
serta betadine, bahkan jika kau punya segenggam emas pun ia takkan mampu
membeli itu semua ditengah kondisi seperti ini. Entah sampai kapan aku harus
terus berlari. Tubuh ini sudah tidak kuat lagi dan ingin menyerah saja. Namun
ada sesuatu disana yang memberi ku kekuatan hingga rasa sakit dan lelah ini
menguap begitu saja. Makhluk itu. Alien yang membuatku harus merasakan ini
semua. Seharusnya aku mempunyai hak penuh untuk mencaci maki,memukul,dan bahkan
membencinya karena telah membuatku seperti ini. Namun hal itu berubah dengan
kata sayang, belaian,dan rasa cinta. Entahlah ada apa denganku. Kau tak perlu
besusah payah menanyakan jawabannya dengan Ariel karena mungkin sama dengannya,
aku sendiri pun tidak punya jawaban atas itu.
“Hey wait! Don’t move!”
Suara itu…suara itu ya aku mengenalinya. Suaranya
cempreng dan melengking membuatku
bergidik tiap mendengarnya bahkan suara itu lebih menakutkan dibanding suara
decit rem mobil. Ngilu. Si kurus bergigi emas.
Kupercepat langkahku. Berharap dia takkan menangkapku.
Hingga kulihat sebuah kotak besar berwarna biru beroda empat dan tak
berpenghuni. Kudekati dan kucoba buka pintunya. Kebuka! Teriakku dalam hati. Aku pun duduk dibangku kemudi lalu menatap
kemudi mobil. Mungkinkah aku bisa mengendarainya? Truk sebesar ini? Aku bahkan
tidak bisa mengendarai motor bahkan matic sekalipun dikarenakan trauma
kecelakaan 5 tahun lalu. Namun lagi-lagi suara itu, derap kaki itu bahkan lebih
menakutkan dibanding sensasi kematian yang ditawarkan akibat ketidak mampuanku
mengendarai truk. Dengan yakin kunyalakan mesin dan kuinjak pedal gas. Truk itu
pun melaju. Aneh. Aku bisa mengendarainya dengan mulus. Entah aku yg tiba-tiba
diberi kemampuan ajaib atau truk ini yang sebenarnya ajaib. Kutinggalkan gurun
bersama si kurus bergigi emas dibelakang. Aku tersenyum lega.
Sejam aku mengemudi ,kulihat rumah-rumah penduduk yang
berjejer rapi dan sebuah toko yang menjual minuman. Ingin sekali aku mampir
kesana untuk membeli minum yang seakan merayu lewat lemari kaca dingin dan
minta dicicipi tubuhnya, namun lagi-lagi bayangan Alien itu membuatku terus
melaju tanpa mempedulikan tenggorokanku yang mulai sama perihnya dengan
luka-luka ditubuh ini.Tak lama aku melihat sebuah gedung tua tak terurus
diujung sebuah gang terpencil. Temboknya usang ditumbuhi tanaman lumut dan
paku-pakuan. Kuparkirkan truk ajaib ini dan masuk kedalam gedung.
Gelap,sunyi,dan lembap. Mirip gedung-gedung tua difilm horror. Aku berharap takkan
berjumpa dengan makhluk halus atau semacamnya disini. Aku terus berjalan
menaiki tangga-tangga licin. Dan sampai dilantai dua gedung. Kusapukan pandanganku
hingga akhirnya mataku bertemu dengan sepasang mata yang teduh namun tegas,
mata yang mampu membuatku lumpuh seketika, mata yang mampu membuatku kehilangan
kontrol atas diriku. Mata itu menyambutku, aku tahu Alien itu senang dengan
kehadiranku, aku dapat merasakannya. Namun sorot mata itu berubah seketika,
seakan ia memberi isyarat kepadaku. Yang maksudnya,
Jangan bergerak,tetaplah disitu. Aku pun
mengikuti intruksinya. Kulangkahkan kaki untuk mundur dan meringkuk ditangga.
Kulihat sesosok laki-laki dari belakang , ia berperawakan tinggi, bertubuh
atletis, rambutnya yang gondrong ikal dikuncir kuda. Yah, dia persis seperti
penjahat ditv2. Sekian detik aku meringkuk ditangga hingga mataku menemukan
sebuah balok kayu besar yang entah darimana datangnya. Aku rasa dalam kasus ini
aku sedang beruntung, selalu menemukan barang-barang yang tak terduga seperti
truk ajaib dan balok kayu ini disaat-saat genting. Kuambil balok kayu yang diujungnya terdapat
paku-paku yang mulai berkarat. Kulangkahkan kaki ke si penjahat itu, kuayunkan
baloknya dan….
“Maaf” desisku.
Seketika penjahat itu jatuh.
Aku kaget. Aku kaget dengan tanganku dan tubuhku yang seperti
disuntikkan energy supersonik yang dimiliki
saras 008 atau bahkan Catwoman hingga membuat tubuh atletis itu tersungkur dan
bercumbu dengan tanah. Sama denganku, Alien didepanku pun itu tercengang. Akupun
langsung menghambur kearahnya. Mencoba membukakan tali yang membebat tubuhnya
yang sempurna.
“Are you ok? Tanyanya
“Yes, I’m ok” balasku sambil terus berusaha membuka tali
ditubuhnya. Kutundukkan kepalaku agar aku tak harus menatap wajahnya. Walau aku
tahu ia terus menatapku. Sial.
Umpatku
dalam hati. Aku lebih memilih untuk memandangnya dari jauh daripada seperti
ini. Tubuhku dan tubuhnya yang hanya berjarak satu jengkal setengah. Aku
gemetaran. Keringat dingin keluar dari tubuhku.
“Lukamu” bisiknya
“Its ok” balasku. Mengapa disaat seperti ini waktu terasa begitu
lamban. Tali yang sedari tadi aku coba buka tak kunjung lepas. Sampai
sepersekian menit yang rasanya sudah 10 tahun bagiku, akhirnya tali itu
terlepas juga, Alien itu bebas.
“Terima kasih banyak” ucapnya
Aku hanya menganggukkan kepala.
“Paulo, Paulo? Are you ok? Is there something wrong? Suara cempreng yang aku kenal, si kurus bergigi emas. Hebat sekali dia bisa datang secepat ini. Mungkinkah dia juga menemukan truk ajaib digurun? Entahlah.
“Paulo, Paulo? Are you ok? Is there something wrong? Suara cempreng yang aku kenal, si kurus bergigi emas. Hebat sekali dia bisa datang secepat ini. Mungkinkah dia juga menemukan truk ajaib digurun? Entahlah.
Kemudian dengan cepat, Si Alien mengambil sebuah pistol hitam yang tergeletak
didekat si lelaki yang aku duga bernama Paulo yang masih belum sadarkan diri.
Ia menyerahkan pistol hitam itu kepadaku.
“Ini peganglah” katanya sambil menghampiriku
“Untuk apa? Lebih baik lo yang pegang. I cant” kataku yang masih
bingung.
“Gue udah punya satu. Dan ini buat lo. Yes,you can!” katanya
meyakinkan ku seraya menyerahkan pistol hitam itu.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari tangga dan suara
memanggil.
Alien itu dengan segera
menarik tanganku dan menyembunyikanku dibalik punggungnya. Dapat kucium bau
tubuhnya, sisa-sisa aroma parfum Issey Miyake yang bercampur dengan aroma
peluhnya. Aroma nomer 2 yang aku suka, setelah aroma khas minyak telon Nyonya Meneer.
“Hey,Paulo! What’s going on? si kurus berteriak melihat si Paulo
terkapar dan sama kagetnya dengan dia melihat Alien yang sudah bebas berdiri
dihadapnya.
“You…… HOW!?” bentak si kurus gemas.
“Yeah, why, Luca?” timpal si Alien dengan santai. Dan pertama kali
aku tahu kalau si kurus bergigi emas dan
bersuara cempreng itu bernama Luca.
Sontak si Luca memanggil seorang temannya yang diikuti dengan
derap kaki bak seorang paskibraka. BRUK BRUK BRUK.Dua lawan satu. Mengapa dua
lawan satu? Ya, karena mereka yang masing-masing memegang senjata dan aku rasa mereka
cukup ahli menggunakannya . Sementara aku, yang baru beberapa detik lalu
berkenalan dengan senjata api dan sama sekali tidak tahu bagaimana
menggunakannya.
Mereka sempat saling berbicara yang aku duga adalah bahasa Spanyol
karena aku tidak mengerti apa artinya, si Alien dan si Luca.
Tiba-tiba
DUAR. Satu peluru terhempas. Diikuti suara tubuh yang jatuh ke
tanah. Ternyata salah satu teman Luca tertembak, tak lain tak bukan si Alien
lah yang menembaknya.
Suasana makin tegang. Si Alien menarik tanganku sedikit memberi kode
agar tetap dibalik punggungnya. Kudengar Luca yang terus mengumpat. Suaranya
membuatku ngilu.
Kudengar suara tembakan lagi, 2 kali. DUAR. DUAR.
Aku diam. Kaku. Kulihat Alien jatuh. Pistol ditangannya terhempas.
Dan satu peluru melesat tepat mengenai pergelangan tangan kirinya.
Kudengar si kurus tertawa.
Luca brengsek! Pekikku
dalam hati.
Tiba-tiba seperti sesuatu yang panas menjalar diseluruh tubuhku.
Menjalar terus hingga ke ubun-ubun. Dan entah kenapa tiba-tiba tangan ini
dengan lihai mengoperasikan pistol hitam yang sedari tadi aku genggam,
pemberian Alien.
Sempat terlintas dibenakku, konsekuensi yang aku terima jika aku benar-benar
menarik pelantik itu dan membunuh Luca. Aku akan sangat berdosa dan menyesal
seumur hidup. Belum lagi neraka akan senang hati menampungku dan
menghidangkanku segelas sirup merah segar untuk melepas dahaga, darah Luca.
Namun, taukah engkau jika terkadang cinta dapat menjadi pembuta dunia? Dan aku
sedang mengalaminya. Detik ini. Dengan penuh keyakinan kutarik pelantik dan
kuhempaskan isinya.
Tubuh kecil itu terbang bagai kapas. Pelan tapi pasti mendarat
dibumi. Tawa cempreng itu lenyap bersama jiwanya. Dan aku yakin iblis disebelah
kiriku tertawa puas melihat aksiku tadi. “Bravo..bravo!”
katanya. Dan neraka siap menanti kehadiranku, sirup darah Luca beserta sirloin
steak Luca terhidang di meja neraka kecuali gigi emasnya. Karena aku tidak akan
tergoda untuk menyentuhnya apalagi melumatnya. Melihatnya masih apik terpajang
digigi siempunya saja membuatku geli.
Kulihat Alien yang tersungkur dibelakangku. Meringis menahan
sakit. Darah terus keluar dari tangannya. Cepat aku cari kain untuk
menghentikan aliran darahnya. Kubalut lukanya.
“Game is over” katanya sambil tersenyum
“Ya” kataku sambil terus membalut lukanya
“ Do you happy?” tanyanya
“No, dengan luka lo yang kayak gini” jawabku
“Hahaha, I’m fine. Jangan khawatir” jawabnya santai
Kurasakan sesuatu yang hangat menyentuh kepalaku. Tangan kanannya
yang bebas membelai rambutku. Kurasakan sensasi yang tak pernah aku rasakan
sebelumnya. Sensasi yang membuatku seakan sedang terbang menuju nirvana. Kali
ini aku menikmatinya. Benar-benar menikmatinya.
“ I wish I could” bisiknya pelan.
Aku terbangun. Kulihat sekelilingku.Dimana dia? Kusapukan
pandanganku ke setiap sudut. Ia tak ada. Aku berlari. Mencari. Terus berlari.
Terus dan terus. Kemana si Alien? Kemana Alienku pergi? Kemana?! Kemana?!
Akankah ia kembali?
Untuk Si Alien,
yang tak tahu kapan ia akan kembali.